Sabtu, 03 Mei 2014

Aku pun tak selalu benar



Sebulan yang lalu...

      “Maafin aku din, aku benar-benar ingin bercerita kepadamu waktu itu, aku ingin bertanya tentang pendapatmu, tapi  bagaimana bisa aku meneleponmu untuk menanyakannya sedangkan kita sedang di kampung masing-masing dan waktu itu katamu handphonemu sedang tak bisa digunakan”, ucap Tria sambil mengiba di hadapanku.

     “Iya sudahlah tria, aku tak mempermasalahkanmu sudah bercerita atau belum, aku tak mempermasalahkan kamu dengan pacar barumu itu, hanya saja aku hanya tak ingin kamu berkali-kali jatuh ke kesalahan yang sama, itu aja”,  jawabku tenang sembari memberikan senyum kecil yang melambangkan kekecewaanku padanya sambil terus berjalan menyusuri jalanan di kampus yang begitu tenang, sunyi sepi tanpa suara, hanya suara kami berdua yang jelas terdengar. Wajar saja karena hari itu hanya kelas ku yang ada jadwal kuliah, dan semua teman-teman sudah pulang duluan.

       “Aku benar-benar merasa bersalah din, aku juga nggak sadar udah nerima dia.”, ucapnya polos.

        “Kini kamu berkata begitu, kemarin kamu juga berkata begitu tria. Aku pun bingung dengan jalan pikiran kamu, udah dua kali kamu berkata begitu sama kau, ini yang ketiga kalinya. Aku pun tak tau harus berkata apalagi jika itu sudah menjadi pilihanmu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu, semog pilihan ini tepat untukmu.” “aku duluan ya, udah ada janji dengan teman kos tadi” kataku sambil berjalan dengan arah berlawanan darinya mengawali langkah meninggalkannya diparkiran.

       “Hey din” sapa tria mengacaukan lamunanku.
       “eh kamu tria, apa kabar? Udah lama ya kita nggak ngobrol.” Ucapku sambil tersenyum lebar.
      “ah kamu din, seperti kita sudah tak lama bertemu saja ucapanmu itu, setiap hari kan kita juga ketemu pake acara nanya kabar segala” jawabnya kesal.
     “haha bukan gitu, maksud aku kita emang sering ketemu, tapi nggak berbincang seperti ini, palingan tentang tugas kelompok, ya kan? Karena disibukkan dengan setumpuk tugas kali ya? Gimana hubungan kamu dengan pramugara itu?” tanyaku.
     “haha dasar miss lebay, baru beberapa hari juga kita nggak ngobrol udah kayak setahun aja nggak ketemu,woo. Aku dengan dia baik-baik aja. Eh iya ada yang waktu itu belum sempat aku ceritain din, mmm” ucapnya gelisah.
     “iya apa tria, bilang aja. Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali kan?”, jawabku sambil menenangkannya.

      “gini waktu itu aku bilang mungkin aku nggak akan pernah suka sama si pramugara itu, ya emang aku nggak suka. Senjata makan tuan kali ya, sekarang aku malah pacaran sama dia. Tapi aku emang ngerasa nyaman sama Akmal ini din. Aku nggak mau kamu salah paham din, padahal sebelumnya kau bilang udah nggak mau pacaran lagi dan tentang aku mutusin si Kiki, itu karna...” , tria menghentikan perkataannya setelah bicara cerita panjang lebar tanpa henti, ya dia memang kebiasaan begitu.

      “karena apa din? Kenapa? Bukannya kemarin itu kamu bilang karena kamu bosan? Berarti ada alasan lain yang belum aku tau? Tapi kalo aku nggak perlu tau kamu juga nggak perlu cerita kok sama aku. Nggak semua hal kan bisa kita ceritain dan bisa kita percayai ke orang temapt kita bercerita.” Jawabku menenangkannya lagi.

      “bukan gitu, bukan aku menyembunyikannya, tapi aku hanya tidak ingin mempermalukannya. Tapi sudah saatnya mungkin aku harus bercerita kagar kalian tahu apa sebabnya. Yaitu karena sewaktu dia dengan aku, hanya aku yang mengeluarkan semua uang untuk hubungan kami. Dia benar-benar tidak berpartisipasi sama sekali din, malah pernah waktu pake motor aku, dia udah tau minyak motor aku udah rest, tapi dia bersikeras bilang masih cukup karena sking tidak mau mengisi minyak itu mungkin. Jadinya ya aku yang bersikeras minta berhenti di POM bensin untuk mengisi minyak bensin untuk motorku. Aku pikir kali itu mungkin dia lagi nggak megang duit. Tapi ternyata selama dua bulan hubungan kami dia selalu begitu.” Ucapnya sedih.

      “ya ampun din, kenapa kamu baru cerita. Itu bener-bener diluar dugaan. Prakiraan aku kan dia playboy bakalan nyelingkuhin kamu, aku emang udah nggak suka dari awal sama dia, yang waktu itu kamu juga bilang, maaf din aku bener-bener nggak sadar udah nerima dia. Sama seperti kamu menerima si Akmal ini. Aku cuma takut dan nggak mau kamu jatuh ke kesalahan yang sama, lagi-lagi aku mengatakan hal ini kan...” ucapanku tertahan.

*hening*

      “yasudahlah, kalo memang begitu tepat kok pilihan kamu untuk mengakhiri dengan dia. Tapi dengan yang sekarang semoga nggak terulang lagi ya, aku doain semoga langgeng semoga pilihanmu nggak salah lagi, tapi maaf aku nggak suka cara kamu yang selalu polos mengatakan aku nggak sadar udah nerima, itu kan pilihan kamu sendiri tria, mulailah untuk menyadari hal itu.” Ucapaku sambil tersenyum lebar padanya.

     “Makasih din, kamu emang paling mengerti, maaf juga aku nggak banyak cerita lagi sama kamu,” jawabnya.

        Teruskanlah bila menurutmu itu benar . Aku pun tak menyalahkanmu, juga tak merasa yg paling benar. Sebagai sahabat aku hanya tak ingin sahabatku sedih karena kesalahan yang berulang-ulang atas pilihannya sendiri. Karena aku sebagai sahabat juga merasa bersalah seolah-olah tak mngingatkanmu agar tak terjerumus ke kesalahan yang sama.

           Tapi semoga ini yang terbaik, maaf juga aku harus menjaga jarak di antara kita, karena jujur saja aku sedikit kecewa, bukan karena pilihanmu dan juga bukan karena kamu. Tapi karena aku, karena aku yang tidak berhasil mengingatkan sahabatku sendiri, yang bisa saja berubah menjadi bunga mawar bahkan boomerang bagi dirimu sahabat. Hanya perlu waktu untukku bisa memaafkan diri sendiri. 

          Mungkin prinsip kita berbeda arah disini, aku menghargai itu. Karena berbeda pendapat itulah aku tak ingin menyalahkanmu, aku melepaskanmu mengembangkan pendapatmu sendiri. Percayalah aku selalu disini untuk mendengar ceritamu, aku selalu disini untukmu sahabatku. Tak akan melepaskanmu ke dalam jurang kesalahan lagi. Hanya saja aku memberi waktu, waktu untukmu mengerti, mengerti akan maksudku yang mungkin tak akan kamu mengerti secepat ini. 

       Kita pun tak bisa menuntut untuk selalu bisa bersama dan selalu menceritakan kisah kita masing-masing kepada stu sama lain. Karena selalu ada kondisi atau keadaan dimana sebuah cerita tak bisa terungkapkan jika sudah dihadapan orang yang ingin kita ceritakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar