Mama, ya itulah panggilan kesayanganku kepada orang tua yang telah
melahirkanku, yang membesarkanku, yang mengasuhku, yang membimbingku, yang
mengajarkanku, dan yang selalu ada untukku. Disaat aku terpuruk, terjatuh,
terdiam, dan tertawa. Namun terkadang aku pun tak tahu semua hal dari mama.
Karena tidak disetiap umurku aku berada disisi Mama :’)
Papa, lelaki yang paling aku cintai dan hormati di dunia ini.
Selembut apa pun papa bicara, sekeras apapun papa bicara aku tetap
mendengarkannya, aku tetap menghormatinya karena beliau lah aku bisa hidup.
Dari jerih payah serta dari keringat yang bercucuran dan harus menempuh
perjalanan yang cukup jauh mencapai tempat kerjanya untuk menghidupiku. Hanya
saja aku pun tak cukup tau makanan apa yang disukainya, jus apa yang jadi
favoritnya dan masih banyak yang tidak aku ketahui, lagi-lagi karena separuh
hidupku, aku jalani tidak bersama papa dan mama :’)
Terkadang begitu menyebalkan jika harus menceritakan kepada semua
teman-teman dan harus menjawab semua pertanyaan yang muncul tentang alumni SD
mana? Alumni SMP mana? Atau Tinggal dimana? Sama siapa? Orangtua kamu dimana?
Aaaarrrrrggggghhhhh.
Aku muak dengan pertanyaan itu, ada rasa kesal tersirat dalam hati.
Kenapa aku harus pindah-pindah sekolah waktu TK sampai SMA? Sehingga TK ada 2,
SD ada 2, SMP yang cuma 1, SMA juga 2 termasuk yang sekarang. Aku harus jawab
apa kalau sudah begini? Iya kalo ini sekolah pindahan terakhir,kalau setelah
ini pindah lagi aku bener-bener nggak tau gimana mau jawab pertanyaan
teman-teman maupun orang yang ingin mengetahui tentang riwayat hidupku.
Begitu kesal aku terhadap keputusan mama yang memindah-mindahkan
sekolahku, itu pikiranku. Karena aku menyimpulkan bahwa yang pindah-pindah
sekolah itu adalah anak nakal yang tidak diterima disekolah itu. Aku nggak mau
dikira begitu ditempat baru setiap aku pindah. Karena aku termasuk salah satu
siswi yang berprestasi di kelas.
“Din, Din,
Dindaaaaa ,Halooooooo” auryn mengusik lamunanku.
“hah,iya, apa?
kamu ngomong apa barusan?” aku baru sadar kalo aku nggak dengerin ceritanya si
auryn.
“oh jadi kamu
nggak dengerin aku cerita nih dari tadi? Malah asik ngelamunin cowok barunya.
Hm aku nggak suka kamu yang sekarang!” auryn pergi meninggalkanku,
“ryn, ryn, ryn
bukan gitu, dengerin aku dulu” aku berlari mengejar auryn.
Yah begitulah aku jika aku mulai melamun mengenai hal ini. Aku jadi
nggak ingat lagi ada dimana, dengan siapa dan berbuat apa, eh udah kayak lagu
aja. Auryn marah dan nggak mau menyapa aku lagi semenjak kejadian tadi pagi.
Huft, gimana ya mau minta maafnya, berpikir. . . *dapat ide*
menulis di
secarik kertas
Ini ada boneka lucu buat kamu.
Waktu jalan ke minimarket,
kebetulan aku ingat kamu
dan boneka ini mirip kamu.
Jadi aku beliin buat kamu :D
maafin aku ya ^_^ By Dinda
“nih, ambil bonekanya aku nggak suka”
auryn masih cemberut.
“loh ryn,aku
udah bela-belain pake uang tabunganku untuk beliin boneka ini buat kamu loh : (
beneran nggak mau nerima?” tampang memelas ke auryn.
“hmp iya deh
aku terima,tapi aku mau maafin kamu kalo pulang sekolah nanti kamu traktir aku
makan sate di kantin nenek, gimana?”
“hahaha oke itu
mah urusan gampang :D yuk mari out”
Sepulang sekolah aku dan auryn pegi makan
sate bareng ke kantin nenek, dan kita baikan.
***
“dari mana nak?
Mama udah siap-siap dari tadi mau ke kantor, ni udah telat karena kamu telat
pulang, keluyuran aja kerjaannya. Pergi masuk sana, jangan lupa sapu rumah dan
cuci piring. Mama mau ke kantor dulu, udah telat nih”
‘taaaaarrrrrr’
suara pintu depan tertutup kencang.
Kali ini aku yang salah sih, aku lupa tiap pulang sekolah memang
harus langsung pulang kerumah. Karena pas banget dengan jam kantor mama. Hanya
bisa berbisik dalam hati ‘Maafin aku ma : (’. Karena takut mama marah lagi
sepulang kerja nanti aku langsung membereskan kamar yang begitu berantakan karna
buku-buku yang ku pelajari semalam, tak sempat membereskannya karena ketiduran
dengan buku-bukunya. Dan paginya biasa bangun kesiangan.
Rasa malas yang begitu akut bersarang di diriku ini membuat semua
jadwal belajar bahkan pekerjaan rumah atau tugas dan pekerjaan beres-beres
rumah bisa terabaikan bahkan tak terjamah oleh ku dalam beberapa hari. Mungkin
itu sebabnya mama suka marah-marah padaku. Tapi jika mulai rajin semua akan
selesai dalam sekejap bahkan bersih setiap saat tanpa ada omelan, ceramah
bahkan amarah yang menghampiri diriku.
Karena mama juga tahu kalau jadwal di sekolah ku serta tugas-tugas
yang menghampiriku datang dan pergi memang tidak sesuai dengan kondisi fisik
ku. Ya aku memang anak yang lemah, lemah di antibodi, karena dari kecil aku
memang sering sakit-sakitan. Bukan karena bawaan lahir tapi karena kenakalan
masa kecilku sendiri.
“Din, sudah
makan? “ ucap mama sambil memasuki kamar ku.
Aku yang baru
saja bangun dari tidur lelap ku, karena lelah dengan jadwal sekolah dan
sesampainya dirumah juga harus melelahkan diri dengan tugas rumah menjawab
sambil menggeliat “udah kok ma”
“Kapan? kok
sambal nggak berkurang?” itulah kebiasaan mama yang nggak bisa hilang, ngecek
jadwal makan ku sampai-sampai ngecek sambal yang dibuatnya berkurang atau
tidak.
“ah mama lebay
deh. Masih aja ngecek udah makan atau belum lewat sambal yang belum disentuh.
Dinda bukan anak kecil lagi ma, tau kok kapan harus makan tanpa di beri tau.
Kalo sakit dinda juga yang nanggung, dinda juga nggak mau sakit ma”
Sambil menghela nafas panjang mama menjawab dengan lembut,
“justru karna
itu sayang, mama nggak mau dinda sakit, mama nanyain dan ngecek sampai ke
sambal yang belum disentuh itu khawatir sama dinda. Untuk apa mama kayak orang
kurang kerjaan ngecek seberapa banyak sambal yang di sentuh, kalau habis malah
mama senang. Mama nggak mau dinda sakit, makan lagi ya nak” suara mama sudah
mulai terdengar berat dan pergi meninggalkan kamar ku.
Karena hal inilah aku nggak mau di anggap lemah, dan karena hal ini
juga aku dianggap seperti anak kecil dirumah itu. Yah kesalahan dari masa kecil
karena susahnya untuk menimbulkan nafsu makan. Makan adalah kata yang paling
malas aku dengar, dan jika ujung-ujungnya berisi nasi dan hanya sambal yang
bergonta-ganti. Tapi karena malasnya mendengar kata makan dan malasnya makan,
penyakit maag bersarang di tubuhku semenjak kelas 2 SD hingga sekarang. Aku
lebih memilih main daripada dengar teriakan mama setiap harinya untuk makan
siang. Aku lebih memilih mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) dibandingkan celoteh
mama yang menyuruhku makan dulu. Sampai-sampai maag ini pernah membawaku
berkali-kali ke rumah sakit berawal dari kelas 3 SD.
“Dindaaaa,
makaaaannn” teriak papa dari luar.
Aku yang masih melamun karena kata-kata mama tadi pun bergegas
keluar kamar dan langsung mengambil piring untuk menyendok nasi dan sambal ke
dalamnya. Papa adalah orang yang paling kesal kalau dengar aku belum makan,
padahal mama sudah berusaha menyembunyikan kalau akau belum makan karena mama
juga nggak mau aku dimarahin papa. Yah salah aku juga sih.
“Dinda, dinda,
apa susahnya makan nak, harus diingatin setiap jam makan. Adek aja tau jam
makan, sudah selesai makan daripada kakaknya.” Papa berkata dengan nada agak
tinggi.
Aku hanya bisa
diam dan menikmati makanan yang ada dihadapan ku dengan setengah hati.
“Besok papa dan
mama nggak ingatin makan lagi, sudah capek berkali-kali diingatin tapi memang
dasar orangnya yang nggak punya kuping dan nggak mau sehat. Kalau sakit lagi
papa mama nggak peduli, salah sendiri. Efek nggak makan hari ini bukan hari ini
juga, tapi beberapa hari setelahnya, kamu tau itu. Terus lah kayak gitu.”
Dengan nada semakin tinggi papa mengucapkannya jarak beberapa meter dari ku, dan
perlahan pergi dari ruang makan menuju kamar dan... ‘taaaarrrr’ menutup pintu
kamar.
Ah semakin kesal saja aku dibuatnya karena celotehan itu-itu saja
yang ku dengar karena jujur saja semenjak kepindahanku ke SMA Negeri di salah
satu Kabupaten Merangin sudah membuat tingkat kekesalanku kepada papa mama
memuncak. Aku tau apa yang bersarang di tubuhku ini, aku tau resikonya jika
sakitnya kembali menghampiri, bahkan setengah nyawaku hampir melayang untuk
menahan sakitnya. Tanpa diingatkan jam makan aku pun sudah tau. Tanpa
diingatkan untuk makan aku pun sudah mengerti. Tapi apakah mereka tak
merasakannya? Apakah mereka tak memikirkannya? Bahwa ini hanya jalan atau cara
ku untuk mendapatkan perhatian mereka yang telah membuatku begini.
Aku pun tak akan separah ini digerogoti oleh penyakit tersebut jika
mama dan papa tak memindah-mindahkanku seenaknya. Aku pun tak akan berkali-kali
keluar masuk rumah sakit karena hal ini. Alasannya karena semenjak kakek
meninggal nenek nggak ada teman jadi dinda yang nemenin nenek. Selama 6 tahun
aku besar bersama nenek dari kelas 4 SD semester 2 sampai kelas 3 SMP. Oke
alasan itu bisa aku terima. Tapi kepindahanku 2 kali setelahnya hingga kesini
di Bangko Kabupaten Merangin hal yang sangat belum bisa aku terima.
***
Suara ayam berkokok di belakang rumah membangunkanku seperti alarm
jam beker ku yang belum berbunyi. Perlahan aku turun dari ranjang tempat tidurku,
dan menuju jendela kamar yang masih tertutup rapat. Aku membuka jendela dan
merasakan bahwa hawa pagi ini masih terasa begitu segar dan belum
terkontaminasi oleh debu dan asap kendaraan. Ku hirup udara dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan ke kaca jendela sehingga terbentuk embun, dan ku
lukiskan senyum di atasnya ^_^ “Selamat pagi dunia” ucapku yang jarang sekali
menikmati udara sepagi ini. Ehm ya aku memang termasuk orang yang jarang bangun
pagi, jujur.
Adik laki-laki ku tiba-tiba memasuki kamar dan dengan kebiasaannya
yang mengambil tempat tidurku.
“haduh, ngapain
pagi-pagi udah ke kamar cewek nde?” namanya andre yang biasa ku singkat nde.
“heee biarlah
nde ngantuk ha” seolah-olah kasur itu milik dia.
“heleh keluar
keluar udah punya kamar sendiri mau bobok disini juga lagi” usirku.
“apalah kakak
ni cuma numpang bobok aja nggak boleh” dengan nada tinggi sehingga mengusik
tidur adikku yang nomor 2 yang sekamar denganku.
“apalah ni ha
ribut-ribut, masih ngantuk tau” celotehnya kesal.
“ah sudahlah
bobok lah. Kakak keluar aja”
Aku menuju ruang tengah tempat dimana biasanya kami berlima
berkumpul dan menonton televisi tayangan kesayangan keluarga. Kini hanya
beberapa kali pernah terisi penuh, bisa dikatakan jarang. Aku memencet remote
tv dan memilih chanel kartun doraemon. Hari itu aku lalui dengan menonton tv
dan dirumah saja. Hingga siang hari memasuki zona jam makan siang. Mama papa
mulai duduk di kursi ruang makan yang jaraknya hanya beberapa langkah dari
ruang keluarga.
“Andre, Yosi
ayok makan lagi sudah siang, mama udah selesai masak nih” teriak mama dari
ruang makan.
Yosi dan Andre
bergegas keluar dan menuju ruang makan,
“kakak ndak
makan?” tanya yosi,
“ndak nanti
lah, makan lah dulu” jawabku cuek.
“ndak usah ajak
kakak tu, dia ndak makan hari ini, puasa” kata papa
“oh iya kakak
puasa hari ini” jawabku ketus
***
Jam makan malam aku masih belum berniat untuk makan karena perkataan
papa tadi. Aku benar-benar bertekad tak ingin makan hari ini.
Dan keesokan paginya sebelum berangkat ke sekolah aku merintih
kesakitan dengan keringat yang bercucuran deras sehingga cukup untuk membahasi
baju yang aku kenakan dan wajahku yang sudah pucat pasi. Sambil memeluk kuat
perut ku dan melengkung di atas kasur, papa menghampiri dan mengangkatku ke
mobil, lalu membawaku ke dokter terdekat, karena tak tega melihat kondisiku
yang begitu pucat dan mulai membiru.
Suasana rumah mulai menjadi panik karena Yosi yang tengah bersiap di
depan kaca tapi melihatku belum bergerak dan bergegas untuk ke sekolah, padahal
seharusnya kita berangkat bersama. Dan hari ini Yosi harus berangkat ke sekolah
bersama Andre dengan mengendarai motor, yang seharusnya ia berangkat denganku.
Sementara papa dan mama mengantarkanku ke dokter sehingga harus izin dari jam
kantor pada hari itu.
Sesampainya di
tempat dokter aku berkata,
“aku nggak mau
disuntik dan nggak mau dirawat, kasih aja obat yang bisa buat sakit ini cepat
hilang, kasih aja dosis yang tinggi aku juga sudah biasa dan nggak mempan
dengan dosis yang rendah” ucapku sambil gemetar
Dokter menjawab sambil tersenyum “terus kalo nggak mau disuntik dan
dirawat kenapa mau sakit? dan nggak mau makan?” dokter sudah mengetahuinya dari
papa yang berbisik ke dokter tadi.
“bukan urusan
dokter” jawabku kesal.
***
Pukul 20.00 WIB aku terbangun karena canda tawa dari ruang tengah
yang membangunkanku. Tak asing lagi di telinga, itu tawa lepas adik-adikku yang
lagi bercengkrama dengan mama dan papa. Mendengar itu aku tak ingin keluar dan
hanya ingin menghabiskan malam ini dengan tidur. Aku berupaya mengulang agar
bisa tertidur kembali, tetapi ditengah perut yang belum terisi tidur pun
menjadi tak nyeyak. Disatu sisi aku lapar dan ingin keluar, disatu sisi aku tak
mau keluar karena gengsi, masa aku yang keras nggak mau makan harus ke meja
makan karena sakit.
Akhirnya aku memilih untuk berusaha keras agar bisa tertidur dan
makan besok subuh.
***
Alarm handphone ku berbunyi dan aku terbangun, ya ini hari libur
tenyata, tampaknya tanggal merah hari kartini 21 April. Aku bergegas keluar dan
menuju ruang makan dan menghidupkan lampu di ruangan itu. Ternyata ada ayam
bumbu kesukaanku terpampang nyata di atas meja tersebut. Segera dengan lahap
aku santap makanan itu seperti beberapa hari telah berada dalam hutan tanpa
makanan, kelaparan maksudnya.
Selesai makan dan meletakkan piring di belakang aku bergegas menuju
ke ruang keluarga yang berniat ingin menonton film kartun. Baru saja duduk dan
memencet remote tv tiba-tiba ada yang menghidupkan lampu ruang keluarga, sambil
berjalan kearah ku dan berkata,
“oh masih ingat
makan juga, masih pengen makan juga anak mama. Ada dihabiskan ayamnya tadi nak,
sengaja mama pisahkan untuk Dinda malam tadi karena melihat kamu tertidur pulas
tak ada yang tega membangunkanmu.” dan kini mama disampingku mengelus kepalaku
dan memelukku.
“Maaf jika
selama ini mama keras, mama mudah marah, mama selalu kesal kalau Dinda nggak
makan, ya karna pagi kemarin itu, mama nggak sanggup lihat anak mama sampai
sakit dan harus ke dokter begitu. Mama nggak peduli berapa duit yang harus
dikeluarkan sampai anak mama sembuh tapi mama hanya sayang kamu harus keluar
masuk rumah sakit dari kecil.” Suara mama mulai berat dan meneteskan air mata.
Seperti ada petir yang menyambar di dalam pikiranku dan mematahkan
hatiku menjadi bekeping-keping, bahkan serasa tergores sembilu melihat air mata
mama menetes, aku pun menjawab dengan nada pelan,
“Dinda juga
nggak mau sakit ma, siapa juga yang mau sakit. Dari kecil ma, dinda tau dari
kecil dinda sudah nyusahin mama karna hal ini. Tapi...” ucapanku terhenti karna
tak sadar air mataku pun sudah menyucur deras.
“tapi apa
sayang, masih karna mama yang tega pindah-pindahin kamu karna kemauan mama dan
papa sedangkan adik-adikmu tidak?” ya kami memang sudah beberapa kali membahas
hal ini dari mulai aku di pindahkan sampai SMP terkakhir kali.
“mama juga
nggak mau mindah-mindahin anak mama, mama juga nggak mau pisah sama anak mama, tapi
kemaren itu keadaanya beda sayang. Kan sudah mama kasih tau, apa nggak kasian
Dinda lihat nenek yang sudah tua tinggal sendirian? Mama sih juga nggak mau
pindahin Dinda, tapi karna Dinda yang paling tua dan mama tau Dinda yang paling
kuat serta paling mudah dekat dengan orang, makanya mama milih Dinda untuk
nemenin nenek” mama menjelaskan sambil menangis.
“ ya itu Dinda
sudah mengerti ma, tapi kenapa disaat kita sudah berkumpul bersama lagi di
Padang setelah kelas 3 SMP kemaren, baru sebentar di Padang mama malah pilih
pindah kesini, itu yang paling Dinda kesalkan ma” ucapku sambil terisak tangis.
Papa pun datang dan menjawab “ itu karena kebutuhan untuk
melanjutkan kehidupan kita lagi nak, Dinda kan udah besar sekarang udah kelas 3
SMA. Harusnya bisa berpikir lebih dewasa maksud kepindahan ini nak, papa juga
nggak mau dan kasian liat anak papa yang satu ni harus pindah-pindah dan
selalu menyesuaikan diri di tempat baru. Tapi karena papa tau Dinda mampu,
Dinda sebagai kakak yang paling tua dan sebagai contoh bisa cepat beradaptasi
makanya Dinda yang papa dan mama pilih untuk dipindah-pindahkan ke
Kerinci-Padang” ucapan papa terputus sambil menahan air matanya.
“seandainya ada
pilihan lain yang bisa buat kita bersama terus papa pasti ambil pilihan itu,
tapi nggak ada pilihan lain saat itu” sambung papa
“iya iya Dinda
ngerti kok ma pa, tapi yang kesini? Kenapa disini? Dan kenapa harus disini?”
ucapku keras sehingga membangunkan adik-adikku dan ikut duduk di ruang tengah.
Mama pun berkata dalam tangisnya “supaya kalian bertiga tau, karna
kalian sudah besar-besar juga sekarang. Alasan mama mau pindah kesini karna
mama mau kerja dan mama diterima kerja disini. Sudah lama mama ingin kerja dan
melamar kerja selama membesarkan Dinda, Yosi dan Andre, tapi belum ada
panggilan. Dan waktu Dinda baru pindah ke Padang tahun 2010 kemarin baru ada
panggilan untuk mama disini. Kenapa juga papa mama mau mindahin Dinda ke Padang
kalau ujung-ujungnya diterima disini kan? Harusnya dari Kerinci langsung kesini
mama pindahkan seandainya mama tau duluan kalau mama ada panggilan kerja
disini” ucapan mama terhenti dan kami bertiga menangis dipelukan mama.
Papa hanya terdiam ditempat dan melihat kami berpelukan, aku tau
papa berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak terpecah dan terurai
jatuh membasahi pipinya. Karena memang jarang sekali melihat papa nangis,
terakhir waktu kakek meninggal.
“Maafin Dinda
ya ma, pa, Dinda memang bodoh selama ini mau sakit-sakitan hanya Cuma untuk
cari perhatian mama dan papa agar mau memindahkan Dinda kembali disisi mama dan
papa. Eh setelah mendapatkannya Dinda malah dipindahin lagi kesini. Bosan ma pa
pindah-pindah itu, terlalu sering merasakan sakitnya perpisahan, setiap kali
liburan pisah sama papa, mama dan adik-adik aja udah sangat sakit. Belum lagi
berpisah sama kawan-kawan dari setiap daerah yang pernah Dinda tempati
bertahun-tahun.”
“Kan ada juga untungnya
pindah-pindah tu, di Kerinci tempat kelahiran papa dan mama yang setiap tahunnya
kita lebaran disana Dinda jadi banyak dekat dan kenal dengan keluarga, kawan
juga banyak. Di tempat lain kayak Padang dan disini kan jadi lebih banyak juga
kawannya. Link untuk masa depan nanti jadi luas dan banyak, banyak kawan banyak
jalan-jalannya, hehe ya kan” ucap papa sambil bercanda dan memecahkan suasana
sedih di ruang itu menjadi ceria kembali.
Kesalahanku yang paling disesali saat ini adalah pernah kesal
sekesal-kesalnya sama orang tua sendiri karena hal yag seharusnya mengerti tapi
tak aku berusaha mengerti. Dan pastinya penyakit yang selalu setia bersama ku
hingga saat ini, yang menjadi alarm pengingat ku disetiap jam makan dengan
kata-kata pengingat papa dan mama “sudah makan nak? jangan lupa makan ya
nak,makan lah lagi nak”
Nggak akan
telat makan lagi pa ma ;) I Love You Mom Dad ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar