Selasa, 06 Mei 2014

Salah besar dan itu penyesalanKu

Mama, ya itulah panggilan kesayanganku kepada orang tua yang telah melahirkanku, yang membesarkanku, yang mengasuhku, yang membimbingku, yang mengajarkanku, dan yang selalu ada untukku. Disaat aku terpuruk, terjatuh, terdiam, dan tertawa. Namun terkadang aku pun tak tahu semua hal dari mama. Karena tidak disetiap umurku aku berada disisi Mama :’)
Papa, lelaki yang paling aku cintai dan hormati di dunia ini. Selembut apa pun papa bicara, sekeras apapun papa bicara aku tetap mendengarkannya, aku tetap menghormatinya karena beliau lah aku bisa hidup. Dari jerih payah serta dari keringat yang bercucuran dan harus menempuh perjalanan yang cukup jauh mencapai tempat kerjanya untuk menghidupiku. Hanya saja aku pun tak cukup tau makanan apa yang disukainya, jus apa yang jadi favoritnya dan masih banyak yang tidak aku ketahui, lagi-lagi karena separuh hidupku, aku jalani tidak bersama papa dan mama :’)
Terkadang begitu menyebalkan jika harus menceritakan kepada semua teman-teman dan harus menjawab semua pertanyaan yang muncul tentang alumni SD mana? Alumni SMP mana? Atau Tinggal dimana? Sama siapa? Orangtua kamu dimana? Aaaarrrrrggggghhhhh.
Aku muak dengan pertanyaan itu, ada rasa kesal tersirat dalam hati. Kenapa aku harus pindah-pindah sekolah waktu TK sampai SMA? Sehingga TK ada 2, SD ada 2, SMP yang cuma 1, SMA juga 2 termasuk yang sekarang. Aku harus jawab apa kalau sudah begini? Iya kalo ini sekolah pindahan terakhir,kalau setelah ini pindah lagi aku bener-bener nggak tau gimana mau jawab pertanyaan teman-teman maupun orang yang ingin mengetahui tentang riwayat hidupku.
Begitu kesal aku terhadap keputusan mama yang memindah-mindahkan sekolahku, itu pikiranku. Karena aku menyimpulkan bahwa yang pindah-pindah sekolah itu adalah anak nakal yang tidak diterima disekolah itu. Aku nggak mau dikira begitu ditempat baru setiap aku pindah. Karena aku termasuk salah satu siswi yang berprestasi di kelas.
“Din, Din, Dindaaaaa ,Halooooooo” auryn mengusik lamunanku.
“hah,iya, apa? kamu ngomong apa barusan?” aku baru sadar kalo aku nggak dengerin ceritanya si auryn.
“oh jadi kamu nggak dengerin aku cerita nih dari tadi? Malah asik ngelamunin cowok barunya. Hm aku nggak suka kamu yang sekarang!” auryn pergi meninggalkanku,
“ryn, ryn, ryn bukan gitu, dengerin aku dulu” aku berlari mengejar auryn.
Yah begitulah aku jika aku mulai melamun mengenai hal ini. Aku jadi nggak ingat lagi ada dimana, dengan siapa dan berbuat apa, eh udah kayak lagu aja. Auryn marah dan nggak mau menyapa aku lagi semenjak kejadian tadi pagi. Huft, gimana ya mau minta maafnya, berpikir. . . *dapat ide*
menulis di secarik kertas

Ini ada boneka lucu buat kamu.
Waktu jalan ke minimarket,
kebetulan aku ingat kamu
dan boneka ini mirip kamu.
Jadi aku beliin buat kamu :D
maafin aku ya ^_^  By Dinda
nih, ambil bonekanya aku nggak suka” auryn masih cemberut.
“loh ryn,aku udah bela-belain pake uang tabunganku untuk beliin boneka ini buat kamu loh : ( beneran nggak mau nerima?” tampang memelas ke auryn.
“hmp iya deh aku terima,tapi aku mau maafin kamu kalo pulang sekolah nanti kamu traktir aku makan sate di kantin nenek, gimana?”
“hahaha oke itu mah urusan gampang :D yuk mari out”
       Sepulang sekolah aku dan auryn pegi makan sate bareng ke kantin nenek, dan kita baikan.

***
“dari mana nak? Mama udah siap-siap dari tadi mau ke kantor, ni udah telat karena kamu telat pulang, keluyuran aja kerjaannya. Pergi masuk sana, jangan lupa sapu rumah dan cuci piring. Mama mau ke kantor dulu, udah telat nih”
‘taaaaarrrrrr’ suara pintu depan tertutup kencang.
Kali ini aku yang salah sih, aku lupa tiap pulang sekolah memang harus langsung pulang kerumah. Karena pas banget dengan jam kantor mama. Hanya bisa berbisik dalam hati ‘Maafin aku ma : (’. Karena takut mama marah lagi sepulang kerja nanti aku langsung membereskan kamar yang begitu berantakan karna buku-buku yang ku pelajari semalam, tak sempat membereskannya karena ketiduran dengan buku-bukunya. Dan paginya biasa bangun kesiangan.
Rasa malas yang begitu akut bersarang di diriku ini membuat semua jadwal belajar bahkan pekerjaan rumah atau tugas dan pekerjaan beres-beres rumah bisa terabaikan bahkan tak terjamah oleh ku dalam beberapa hari. Mungkin itu sebabnya mama suka marah-marah padaku. Tapi jika mulai rajin semua akan selesai dalam sekejap bahkan bersih setiap saat tanpa ada omelan, ceramah bahkan amarah yang menghampiri diriku. 
Karena mama juga tahu kalau jadwal di sekolah ku serta tugas-tugas yang menghampiriku datang dan pergi memang tidak sesuai dengan kondisi fisik ku. Ya aku memang anak yang lemah, lemah di antibodi, karena dari kecil aku memang sering sakit-sakitan. Bukan karena bawaan lahir tapi karena kenakalan masa kecilku sendiri.
“Din, sudah makan? “ ucap mama sambil memasuki kamar ku.
Aku yang baru saja bangun dari tidur lelap ku, karena lelah dengan jadwal sekolah dan sesampainya dirumah juga harus melelahkan diri dengan tugas rumah menjawab sambil menggeliat “udah kok ma”
“Kapan? kok sambal nggak berkurang?” itulah kebiasaan mama yang nggak bisa hilang, ngecek jadwal makan ku sampai-sampai ngecek sambal yang dibuatnya berkurang atau tidak.
“ah mama lebay deh. Masih aja ngecek udah makan atau belum lewat sambal yang belum disentuh. Dinda bukan anak kecil lagi ma, tau kok kapan harus makan tanpa di beri tau. Kalo sakit dinda juga yang nanggung, dinda juga nggak mau sakit ma”
Sambil menghela nafas panjang mama menjawab dengan lembut,
“justru karna itu sayang, mama nggak mau dinda sakit, mama nanyain dan ngecek sampai ke sambal yang belum disentuh itu khawatir sama dinda. Untuk apa mama kayak orang kurang kerjaan ngecek seberapa banyak sambal yang di sentuh, kalau habis malah mama senang. Mama nggak mau dinda sakit, makan lagi ya nak” suara mama sudah mulai terdengar berat dan pergi meninggalkan kamar ku.
Karena hal inilah aku nggak mau di anggap lemah, dan karena hal ini juga aku dianggap seperti anak kecil dirumah itu. Yah kesalahan dari masa kecil karena susahnya untuk menimbulkan nafsu makan. Makan adalah kata yang paling malas aku dengar, dan jika ujung-ujungnya berisi nasi dan hanya sambal yang bergonta-ganti. Tapi karena malasnya mendengar kata makan dan malasnya makan, penyakit maag bersarang di tubuhku semenjak kelas 2 SD hingga sekarang. Aku lebih memilih main daripada dengar teriakan mama setiap harinya untuk makan siang. Aku lebih memilih mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) dibandingkan celoteh mama yang menyuruhku makan dulu. Sampai-sampai maag ini pernah membawaku berkali-kali ke rumah sakit berawal dari kelas 3 SD.
“Dindaaaa, makaaaannn” teriak papa dari luar.
Aku yang masih melamun karena kata-kata mama tadi pun bergegas keluar kamar dan langsung mengambil piring untuk menyendok nasi dan sambal ke dalamnya. Papa adalah orang yang paling kesal kalau dengar aku belum makan, padahal mama sudah berusaha menyembunyikan kalau akau belum makan karena mama juga nggak mau aku dimarahin papa. Yah salah aku juga sih.

“Dinda, dinda, apa susahnya makan nak, harus diingatin setiap jam makan. Adek aja tau jam makan, sudah selesai makan daripada kakaknya.” Papa berkata dengan nada agak tinggi.
Aku hanya bisa diam dan menikmati makanan yang ada dihadapan ku dengan setengah hati.
“Besok papa dan mama nggak ingatin makan lagi, sudah capek berkali-kali diingatin tapi memang dasar orangnya yang nggak punya kuping dan nggak mau sehat. Kalau sakit lagi papa mama nggak peduli, salah sendiri. Efek nggak makan hari ini bukan hari ini juga, tapi beberapa hari setelahnya, kamu tau itu. Terus lah kayak gitu.” Dengan nada semakin tinggi papa mengucapkannya jarak beberapa meter dari ku, dan perlahan pergi dari ruang makan menuju kamar dan... ‘taaaarrrr’ menutup pintu kamar.
Ah semakin kesal saja aku dibuatnya karena celotehan itu-itu saja yang ku dengar karena jujur saja semenjak kepindahanku ke SMA Negeri di salah satu Kabupaten Merangin sudah membuat tingkat kekesalanku kepada papa mama memuncak. Aku tau apa yang bersarang di tubuhku ini, aku tau resikonya jika sakitnya kembali menghampiri, bahkan setengah nyawaku hampir melayang untuk menahan sakitnya. Tanpa diingatkan jam makan aku pun sudah tau. Tanpa diingatkan untuk makan aku pun sudah mengerti. Tapi apakah mereka tak merasakannya? Apakah mereka tak memikirkannya? Bahwa ini hanya jalan atau cara ku untuk mendapatkan perhatian mereka yang telah membuatku begini.
Aku pun tak akan separah ini digerogoti oleh penyakit tersebut jika mama dan papa tak memindah-mindahkanku seenaknya. Aku pun tak akan berkali-kali keluar masuk rumah sakit karena hal ini. Alasannya karena semenjak kakek meninggal nenek nggak ada teman jadi dinda yang nemenin nenek. Selama 6 tahun aku besar bersama nenek dari kelas 4 SD semester 2 sampai kelas 3 SMP. Oke alasan itu bisa aku terima. Tapi kepindahanku 2 kali setelahnya hingga kesini di Bangko Kabupaten Merangin hal yang sangat belum bisa aku terima.
***
Suara ayam berkokok di belakang rumah membangunkanku seperti alarm jam beker ku yang belum berbunyi. Perlahan aku turun dari ranjang tempat tidurku, dan menuju jendela kamar yang masih tertutup rapat. Aku membuka jendela dan merasakan bahwa hawa pagi ini masih terasa begitu segar dan belum terkontaminasi oleh debu dan asap kendaraan. Ku hirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan ke kaca jendela sehingga terbentuk embun, dan ku lukiskan senyum di atasnya ^_^ “Selamat pagi dunia” ucapku yang jarang sekali menikmati udara sepagi ini. Ehm ya aku memang termasuk orang yang jarang bangun pagi, jujur.    
Adik laki-laki ku tiba-tiba memasuki kamar dan dengan kebiasaannya yang mengambil tempat tidurku.
“haduh, ngapain pagi-pagi udah ke kamar cewek nde?” namanya andre yang biasa ku singkat nde.
“heee biarlah nde ngantuk ha” seolah-olah kasur itu milik dia.
“heleh keluar keluar udah punya kamar sendiri mau bobok disini juga lagi” usirku.
“apalah kakak ni cuma numpang bobok aja nggak boleh” dengan nada tinggi sehingga mengusik tidur adikku yang nomor 2 yang sekamar denganku.
“apalah ni ha ribut-ribut, masih ngantuk tau” celotehnya kesal.
“ah sudahlah bobok lah. Kakak keluar aja”
Aku menuju ruang tengah tempat dimana biasanya kami berlima berkumpul dan menonton televisi tayangan kesayangan keluarga. Kini hanya beberapa kali pernah terisi penuh, bisa dikatakan jarang. Aku memencet remote tv dan memilih chanel kartun doraemon. Hari itu aku lalui dengan menonton tv dan dirumah saja. Hingga siang hari memasuki zona jam makan siang. Mama papa mulai duduk di kursi ruang makan yang jaraknya hanya beberapa langkah dari ruang keluarga.
“Andre, Yosi ayok makan lagi sudah siang, mama udah selesai masak nih” teriak mama dari ruang makan.
Yosi dan Andre bergegas keluar dan menuju ruang makan,
“kakak ndak makan?” tanya yosi,
“ndak nanti lah, makan lah dulu” jawabku cuek.
“ndak usah ajak kakak tu, dia ndak makan hari ini, puasa” kata papa
“oh iya kakak puasa hari ini” jawabku ketus
***
Jam makan malam aku masih belum berniat untuk makan karena perkataan papa tadi. Aku benar-benar bertekad tak ingin makan hari ini.
Dan keesokan paginya sebelum berangkat ke sekolah aku merintih kesakitan dengan keringat yang bercucuran deras sehingga cukup untuk membahasi baju yang aku kenakan dan wajahku yang sudah pucat pasi. Sambil memeluk kuat perut ku dan melengkung di atas kasur, papa menghampiri dan mengangkatku ke mobil, lalu membawaku ke dokter terdekat, karena tak tega melihat kondisiku yang begitu pucat dan mulai membiru. 
Suasana rumah mulai menjadi panik karena Yosi yang tengah bersiap di depan kaca tapi melihatku belum bergerak dan bergegas untuk ke sekolah, padahal seharusnya kita berangkat bersama. Dan hari ini Yosi harus berangkat ke sekolah bersama Andre dengan mengendarai motor, yang seharusnya ia berangkat denganku. Sementara papa dan mama mengantarkanku ke dokter sehingga harus izin dari jam kantor pada hari itu.
Sesampainya di tempat dokter aku berkata,
“aku nggak mau disuntik dan nggak mau dirawat, kasih aja obat yang bisa buat sakit ini cepat hilang, kasih aja dosis yang tinggi aku juga sudah biasa dan nggak mempan dengan dosis yang rendah” ucapku sambil gemetar
Dokter menjawab sambil tersenyum “terus kalo nggak mau disuntik dan dirawat kenapa mau sakit? dan nggak mau makan?” dokter sudah mengetahuinya dari papa yang berbisik ke dokter tadi.
“bukan urusan dokter” jawabku kesal.
***
Pukul 20.00 WIB aku terbangun karena canda tawa dari ruang tengah yang membangunkanku. Tak asing lagi di telinga, itu tawa lepas adik-adikku yang lagi bercengkrama dengan mama dan papa. Mendengar itu aku tak ingin keluar dan hanya ingin menghabiskan malam ini dengan tidur. Aku berupaya mengulang agar bisa tertidur kembali, tetapi ditengah perut yang belum terisi tidur pun menjadi tak nyeyak. Disatu sisi aku lapar dan ingin keluar, disatu sisi aku tak mau keluar karena gengsi, masa aku yang keras nggak mau makan harus ke meja makan karena sakit.
Akhirnya aku memilih untuk berusaha keras agar bisa tertidur dan makan besok subuh.
***
Alarm handphone ku berbunyi dan aku terbangun, ya ini hari libur tenyata, tampaknya tanggal merah hari kartini 21 April. Aku bergegas keluar dan menuju ruang makan dan menghidupkan lampu di ruangan itu. Ternyata ada ayam bumbu kesukaanku terpampang nyata di atas meja tersebut. Segera dengan lahap aku santap makanan itu seperti beberapa hari telah berada dalam hutan tanpa makanan, kelaparan maksudnya.
Selesai makan dan meletakkan piring di belakang aku bergegas menuju ke ruang keluarga yang berniat ingin menonton film kartun. Baru saja duduk dan memencet remote tv tiba-tiba ada yang menghidupkan lampu ruang keluarga, sambil berjalan kearah ku dan berkata,
“oh masih ingat makan juga, masih pengen makan juga anak mama. Ada dihabiskan ayamnya tadi nak, sengaja mama pisahkan untuk Dinda malam tadi karena melihat kamu tertidur pulas tak ada yang tega membangunkanmu.” dan kini mama disampingku mengelus kepalaku dan memelukku.
“Maaf jika selama ini mama keras, mama mudah marah, mama selalu kesal kalau Dinda nggak makan, ya karna pagi kemarin itu, mama nggak sanggup lihat anak mama sampai sakit dan harus ke dokter begitu. Mama nggak peduli berapa duit yang harus dikeluarkan sampai anak mama sembuh tapi mama hanya sayang kamu harus keluar masuk rumah sakit dari kecil.” Suara mama mulai berat dan meneteskan air mata.
Seperti ada petir yang menyambar di dalam pikiranku dan mematahkan hatiku menjadi bekeping-keping, bahkan serasa tergores sembilu melihat air mata mama menetes, aku pun menjawab dengan nada pelan,
“Dinda juga nggak mau sakit ma, siapa juga yang mau sakit. Dari kecil ma, dinda tau dari kecil dinda sudah nyusahin mama karna hal ini. Tapi...” ucapanku terhenti karna tak sadar air mataku pun sudah menyucur deras.
“tapi apa sayang, masih karna mama yang tega pindah-pindahin kamu karna kemauan mama dan papa sedangkan adik-adikmu tidak?” ya kami memang sudah beberapa kali membahas hal ini dari mulai aku di pindahkan sampai SMP terkakhir kali.
“mama juga nggak mau mindah-mindahin anak mama, mama juga nggak mau pisah sama anak mama, tapi kemaren itu keadaanya beda sayang. Kan sudah mama kasih tau, apa nggak kasian Dinda lihat nenek yang sudah tua tinggal sendirian? Mama sih juga nggak mau pindahin Dinda, tapi karna Dinda yang paling tua dan mama tau Dinda yang paling kuat serta paling mudah dekat dengan orang, makanya mama milih Dinda untuk nemenin nenek” mama menjelaskan sambil menangis.
“ ya itu Dinda sudah mengerti ma, tapi kenapa disaat kita sudah berkumpul bersama lagi di Padang setelah kelas 3 SMP kemaren, baru sebentar di Padang mama malah pilih pindah kesini, itu yang paling Dinda kesalkan ma” ucapku sambil terisak tangis.
Papa pun datang dan menjawab “ itu karena kebutuhan untuk melanjutkan kehidupan kita lagi nak, Dinda kan udah besar sekarang udah kelas 3 SMA. Harusnya bisa berpikir lebih dewasa maksud kepindahan ini nak, papa juga nggak mau dan kasian liat anak  papa yang satu ni harus pindah-pindah dan selalu menyesuaikan diri di tempat baru. Tapi karena papa tau Dinda mampu, Dinda sebagai kakak yang paling tua dan sebagai contoh bisa cepat beradaptasi makanya Dinda yang papa dan mama pilih untuk dipindah-pindahkan ke Kerinci-Padang” ucapan papa terputus sambil menahan air matanya.
“seandainya ada pilihan lain yang bisa buat kita bersama terus papa pasti ambil pilihan itu, tapi nggak ada pilihan lain saat itu” sambung papa
“iya iya Dinda ngerti kok ma pa, tapi yang kesini? Kenapa disini? Dan kenapa harus disini?” ucapku keras sehingga membangunkan adik-adikku dan ikut duduk di ruang tengah.
Mama pun berkata dalam tangisnya “supaya kalian bertiga tau, karna kalian sudah besar-besar juga sekarang. Alasan mama mau pindah kesini karna mama mau kerja dan mama diterima kerja disini. Sudah lama mama ingin kerja dan melamar kerja selama membesarkan Dinda, Yosi dan Andre, tapi belum ada panggilan. Dan waktu Dinda baru pindah ke Padang tahun 2010 kemarin baru ada panggilan untuk mama disini. Kenapa juga papa mama mau mindahin Dinda ke Padang kalau ujung-ujungnya diterima disini kan? Harusnya dari Kerinci langsung kesini mama pindahkan seandainya mama tau duluan kalau mama ada panggilan kerja disini” ucapan mama terhenti dan kami bertiga menangis dipelukan mama.
Papa hanya terdiam ditempat dan melihat kami berpelukan, aku tau papa berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tak terpecah dan terurai jatuh membasahi pipinya. Karena memang jarang sekali melihat papa nangis, terakhir waktu kakek meninggal.
“Maafin Dinda ya ma, pa, Dinda memang bodoh selama ini mau sakit-sakitan hanya Cuma untuk cari perhatian mama dan papa agar mau memindahkan Dinda kembali disisi mama dan papa. Eh setelah mendapatkannya Dinda malah dipindahin lagi kesini. Bosan ma pa pindah-pindah itu, terlalu sering merasakan sakitnya perpisahan, setiap kali liburan pisah sama papa, mama dan adik-adik aja udah sangat sakit. Belum lagi berpisah sama kawan-kawan dari setiap daerah yang pernah Dinda tempati bertahun-tahun.”
“Kan ada juga untungnya pindah-pindah tu, di Kerinci tempat kelahiran papa dan mama yang setiap tahunnya kita lebaran disana Dinda jadi banyak dekat dan kenal dengan keluarga, kawan juga banyak. Di tempat lain kayak Padang dan disini kan jadi lebih banyak juga kawannya. Link untuk masa depan nanti jadi luas dan banyak, banyak kawan banyak jalan-jalannya, hehe ya kan” ucap papa sambil bercanda dan memecahkan suasana sedih di ruang itu menjadi ceria kembali.
Kesalahanku yang paling disesali saat ini adalah pernah kesal sekesal-kesalnya sama orang tua sendiri karena hal yag seharusnya mengerti tapi tak aku berusaha mengerti. Dan pastinya penyakit yang selalu setia bersama ku hingga saat ini, yang menjadi alarm pengingat ku disetiap jam makan dengan kata-kata pengingat papa dan mama “sudah makan nak? jangan lupa makan ya nak,makan lah lagi nak”
Nggak akan telat makan lagi pa ma ;) I Love You Mom Dad ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar